Rabu, 03 September 2008

secangkir kopi dingin lewat tengah malam

.: di mana engkau, sepotong tulang rusukku..??


Mesin penunjuk waktu ketika tulisan ini saya bikin telah melewati titik 24.00 WIB, titik kulminasi hitungan waktu per hari untuk bagian barat Indonesia. Perlu anda tahu, saat itu saya seorang diri di rumah kos yang berukuran kira-kira 5x10 meter. Rekan penghuni lain sedang mudik, dan seorang lagi yang tersisa sedang bermalam di rumah rekannya. Dan tahukah sampeyan sekalian, apa yang kiranya saya rasakan saat itu—saat saya terus menatahkan beragam abjad dan tanda dalam jumlah ribuan ini? Sepi dan sunyi, tentunya. Tanpa seorang pun menemani saya, malam ini.


Dan sebagaimana kebiasaan saya saat akan melakukan ritual mesra dengan personal computer di dalam kamar, sebelumnya telah saya racik secangkir kopi kental dan manis, selera lidah saya. Tapi sayangnya, kopi itu terlalu cepat turun temperaturnya. Ia keburu mendingin sebelum saya sempat menurunkan volumenya hingga separuh tubuh cangkir. Alamak... jadi saya harus rela meneguk kopi dingin nih ceritanya. Lewat tengah malam, seorang diri, didera kesepian, dirajam kesunyian, harus rela mencecapi kopi dingin? Huh, betapa memuakkannya...


Andai saja saya sudah punya partner abadi dalam mengarungi hidup, mungkin di sepenggal sisa malam ini saya tak perlu merana dalam rasa. Andai saja saya sudah beristrikan seorang wanita cantik, pengertian dan perhatian, aduhai... betapa indah dan bercandunya hidup ini. Tak perlu saya bersusah dan berpayah memelototi layar monitor komputer sembari meraba-raba dan memijiti tombol-tombol di sekujur papan kibor dengan sepuluh jariku. Barangkali saya akan pergunakan kedua mata ini untuk memandangi lekat-lekat wajah istri yang sedang lelap (aduhai, betapa mesranya...), dan memanfaatkan jemari ini untuk memijiti jengkal demi jengkal tubuhnya yang kecapaian karena seharian menunaikan tugas domestik rumah tangga (ah, lagi-lagi ini cuma khayalan yang keterlaluan).


Dan lama kelamaan, secangkir kopi itu makin menjadi-jadi saja dinginnya. Karena tak lekas tersentuh mulut dan lidah barangkali. Mirip hidupku yang tak segera bertemu dengan sepotong “tulang rusuk” milikku sendiri yang entah disembunyikan di mana oleh Sang Pembuatnya. Ah, tulang rusukku, di mana dikau kiranya saat ini berada... daku merindumu untuk lekas kembali. Pulanglah, duhai tulang rusukku... Pulanglah...


Lekas-lekas kubikin tandas sisa-sisa kopi dingin di cangkir. Lekas-lekas pula saya akhiri tulisan ini, dan berniat untuk segera pergi melelap diri, berharap lewat mimpi saya akan mendapati petunjuk di mana kiranya separuh nafasku, sebelah jiwaku, sepotong tulang rusukku, berada... [*]


Litani sunyi, lewat tengah malam 26 Februari 2008



Tidak ada komentar: