Rabu, 03 September 2008

segelas pisu di 24.00

.: untuk merayakan perbedaan di tengah-tengah kita


tentang malam dan waktu

Semalam, di sebuah stan kaki lima di alun-alun kota Jember, pada kisaran 24.00, tersaji segelas pisu (kopi susu) di hadapanku. Bersama tiga orang rekan penghuni rumah kos, sengaja aku datang ke tempat tersebut untuk menyaksikan dan menikmati warna kehidupan malam: kehidupan yang konon menyimpan pesona dan sekaligus juga kengerian.

Malam adalah keindahan bagi mereka yang terlibat percintaan, magis bagi yang menggandrungi mistisme dan klenik, dan keheningan bagi para pencari inspirasi ataupun ketenangan. Tapi malam adalah juga tragedi, momen di mana tindak laku durjana acapkali terjadi: perampokan, perkosaan, pembunuhan, dll. Chairil Anwar pernah menulis, “aku suka pada mereka yang masuk menemu malam.”

Malam” yang dimaksud Chairil bisa jadi adalah sebuah kiasan bagi situasi dan keadaan yang penuh tantangan, penuh teka-teki, penuh bahaya, bertabur tragedi, yang jarang orang berani mengambil resiko untuk masuk menjalaninya. Maka untuk memasukinya, dibutuhkan nyali, tekad, dan keberanian yang tak kecil.

24.00 adalah sebuah titik kulminasi, titik puncak tertinggi dari perambatan kalkulasi mekanis atas waktu. Tapi waktu sesungguhnya tiada memiliki pangkal pun ujung. Tiada memiliki awal juga akhir. Ia bergerak sirkuler. Namun manusia mencipta sebuah sistem tanda untuk waktu: detik, menit, jam, hari/tanggal, bulan, tahun, dan seterusnya. Manusia membuat penanda, mencipta simbol dan hitungan matematis, atas pergerakan (baca: perputaran) waktu guna mempermudah ia mendefinisikan posisi dirinya di tengah rimba waktu. Dengan sistem penanda, waktu yang sesungguhnya bergerak sirkuler dideskripsikan secara linier: waktu yang telah berlalu tak akan pernah kembali.

24.00 adalah sebuah titik klimaks. Ia menjadi akhir sekaligus awal: akhir dari sebuah pendakian menuju puncak, dan awal langkah menyusuri jalan turun kembali menuju dasar (antiklimaks). Pada 24.00, hitungan satu hari berakhir dan sekaligus dimulailah penghitungan satu hari baru. Pada 24.00, sebagian besar kehidupan terhenti. Hiruk pikuk menjadi sunyi, riuh berganti hening. Sebagian besar makhluk hidup, tak terkecuali manusia, berada dalam fase tidur: sebuah “koma”, sebentuk recovery energi yang terkuras oleh beragam aktivitas seharian.

Di stan kaki lima malam itu, pada kisaran 24.00, terlihat denyut nadi lain kehidupan. Saat sebagian besar manusia terlelap dalam buai mimpi, segolongan manusia lain justru masih asik menikmati kehidupan: para lelaki dan wanita yang masih berada di dalam stan menikmati aneka makanan dan minuman sembari bercengkrama meninggalkan 24.00. Sementara segolongan lain lagi baru memulai kehidupannya: para pedagang di pasar tradisional yang mulai berangkat membawa aneka barang dagangan, juga para petugas kebersihan kota yang mulai menyapu serakan kotoran di jejalanan kota.


selubung warna yang menipu

Kuangkat gelas berisi kopi susu di hadapanku yang perlahan mendingin itu. Kutempelkan bibir gelas ke bibirku. Kuseruput perlahan lalu kembali kutaruh di atas meja seperti sedia kala. Kupandangi campuran susu kental manis dan serbuk kopi yang diseduh dengan air seratus derajat celcius itu. Kuning kecoklatan. Warna yang dihasilkan dari perpaduan antara hitam dan putih. Tak mampu aku mendefinisikan warna itu sebagai “bagus” atau “buruk”. Karena ia bagiku hanyalah warna lain, warna baru hasil perpaduan warna-warna lain. Warna yang berbeda dari putih ataupun hitam, namun samasekali tak bisa diperbandingkan apakah ia lebih bagus atau lebih buruk dibandingkan putih dan hitam.

Arghh... kopi susu itu terasa nikmat dalam kecapan lidahku. Membuatku ectase oleh sensasi manis, gurih dan sedap yang berkolaborasi di dalam campuran itu. Suatu campuran yang berasal dari warna yang saling bertolak-belakang namun menghasilkan sebuah rasa penuh kenikmatan. Ia menghasilkan sensasi yang teridentifikasi oleh saraf-saraf di lidah lalu dikirimkan ke otakku dan kemudian diinterpretasikan sebagai “lezat”.

Ah, betapa warna hanyalah sebuah tampilan luar yang tak jarang mengecoh. Warna seringkali menjadi selubung yang menyembunyikan isi dan kandungan yang ada di baliknya. Sebuah warna yang kita referensikan sebagai “buruk”, tak jarang malah menyembunyikan sebuah keindahan di dalamnya. Pun sebaliknya, kebusukan seringkali tersimpan dalam selubung warna yang kita labeli sebagai “indah”.

Ah, dan betapa seringnya manusia tertipu mentah-mentah oleh warna, terkelabuhi oleh penampilan luar. Tak jarang manusia berseteru, saling serang dan menumpahkan darah hanya karena sebuah warna. Putih tak mau bersanding dengan hitam, karena ia dianggap sebagai liyan (the other) yang menyimpang dan harus disingkirkan. Pun demikian sebaliknya bagi hitam. Putih diinterpretasikan sebagai sebuah bahaya, sebentuk ancaman bagi keberadaan dirinya yang musti dilenyapkan. Manusia seringkali terkecoh oleh tampilan luaran dan mengabaikan “rasa” yang ada di balik “warna”. Dan juga cemas dan khawatir pada “warna baru” yang akan muncul tatkala “warna-warna” dibiarkan melebur berkombinasi.

Ah, barangkali selama ini kita memang tiada pernah memikirkan apa-apa di balik nikmat dan ‘memabukkan’nya segelas kopi susu yang biasa kita minum dan membuat kita mengalami addict itu... [*]


Tepian Bedadung, 12 Desember 2007



Tidak ada komentar: