Selasa, 16 September 2008

secangkir kopi siang ramadhan

:: pelanggaran berbuah kenikmatan…

Peristiwa ini terjadi tiga tahun silam, tepat di pertengahan bulan puasa. Begini ceritanya: Waktu itu aku sedang dalam perjalanan dari rumah menuju kampus. Menempuh jarak tak kurang tigapuluh kilometer di siang bolong, tenggorokanku terasa kerontang. Lebih parah lagi, kedua kelopak mataku digelayuti rasa kantuk yang amat sangat akibat semalaman begadang. Iblis di dalam diriku pun sepertinya menyambut gayung yang dihasrati tenggorokan dan dua kelopak mataku itu dengan amat girang. Digodanya aku habis-habisan untuk membelokkan setir sepedamotor menuju kedai makan di tepi jalan yang umumnya dibuka pintunya saja – mirip warung yang sedang tutup. Tapi apa lacur, di dalam warung makan itu ternyata sudah ada tak kurang enam orang yang nampaknya baru saja menandaskan makan siangnya. Ini aku tahu dari piring-piring kotor yang ada di hadapan masing-masing. Sebagian dari mereka menyambung makan siangnya dengan hidangan kopi plus rokok, sebagian lainnya mereguk es teh.

Sejenak setelah memasuki warung, aku pesan secangkir kopi kepada ibu setengah baya pemilik warung. “Nggak makan, Mas?” Tanya si ibu pemilik warung. “Nggak Bu, kopi aja,” jawabku sembari mengambil posisi duduk di antara para pengunjung lain itu. Kopi pun dihidangkan dan langsung kutuang sedikit demi sedikit ke lepek lantas kuseruput. Nikmat, tentu saja. Tapi di sisi lain, kenikmatan itu tak terasa maksimal. Bukan semata karena faktor kualitas racikan kopinya, mungkin, tapi juga karena ada suatu perasaan berdosa yang menyeruak di dalam diri. Ini bulan Ramadhan, dan aku membatalkan puasa hanya karena rasa haus dan kantuk yang menyergapku – begitu gumamku dalam hati. Bagaimana rasanya para petani di sawah dan para pedagang di pasar yang tetap berjuang mempertahankan puasanya meski tenggorokan bak gurun pasir dan tubuh meletih sangat – aku menyesali kepengecutan dan kecengengan diriku sendiri yang tak sanggup bertahan.

Aku ingat semasa SMP dulu sering kawan-kawanku yang bengal mengajakku untuk membatalkan puasa – secara gerilya alias sembunyi-sembunyi, tentunya (karena takut kena marah orangtua dan guru). Pernah kami ramai-ramai menuju warung es yang tak jauh dari sekolah untuk “buka puasa berjamaah”. Sebenarnya ini sangat memalukan mengingat SMP kami adalah SMP Muhammadiyah yang notabene mengajarkan kedisiplinan yang ketat dalam hal beragama. Tapi sebagai remaja yang sedang diperbudak gejolak di benak untuk jadi manusia pemberontak (jadi teringat judul novel Camus, L’Homme Revolte), kami lemparkan jauh-jauh segala ajaran kedisiplinan moral dan akhlak agama yang didedahkan oleh guru-guru kami ke recycle bin di sudut kiri gumpalan otak kami. Hingga kami tumbuh dewasa sekarang ini, sebagian dari kami me-restore-nya untuk dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, dan sebagian lainnya mengambil aksi empty recycle bin – memusnahkannya dari jangkauan ingatan dan perhatian kesadaran (entah saya sendiri masuk kelompok yang mana, hehe..). Dan, rasa-rasanya, saya tak perlu terlalu jauh mengumbar cerita ini, karena aku sadar sesadar-sadarnya bahwa ini – tak lain dan tak bukan – adalah aib.

Balik ke soal awal ceritaku tadi: Setelah membayar nominal secangkir kopi kepada si ibu setengah baya pemilik kedai, aku raih cerek berisi air putih lalu kutuang air di dalamnya ke gelas berukuran jumbo. Kureguk segelas air itu lantas aku berpamitan kepada si ibu penjual. Sejurus kemudian aku ngeloyor pergi menuju kampus. Di kampus, tak seorang pun kawanku yang tahu bahwa hari itu aku sedang tak berpuasa. Perutku tetap kelihatan kempis karena aku cuma mengisinya dengan secangkir kopi dan segelas air putih, tanpa sepiring nasi. Bedanya, aku hanya lebih bergas dan bergairah dibanding kawan-kawanku yang nampaknya pada teler saat mengikuti perkuliahan yang diampu oleh seorang dosen perempuan berjilbab yang kelihatannya juga tak kalah telernya dibanding para mahasiswa di hadapannya (maklum saat itu tengah-hari, saat di mana tubuh yang berpuasa minta dibaringkan-dimanjakan di atas kasur dan kelopak mata menuntut untuk dipejamkan dalam oase mimpi). Dalam hati aku bergumam: kejahatan yang diumbar kafein di dalam batok kepalaku rupanya memang ampuh untuk membuatku merajai kelas di perkuliahan kali ini. Saat itu, sayalah mungkin yang paling bergas. Meski tak semua kawan sekelasku itu berpuasa (karena ada yang non-muslim), tapi aku yakin menjelang kuliah saat itu akulah satu-satunya yang sempat serong ke warung dan mereguk nikmat plus khasiat secangkir kopi.

Dan, di rumah… soreharinya… saat beduk magrib terdengar bertalu-talu… aku tak kalah gesit dibanding adikku dalam menyambar menu takjilan dan aneka hidangan buka puasa bikinan simbokku (yang memang jago memasak itu)… seolah-olah hari itu aku memang sedang berpuasa… seolah-olah pelanggaran di siang bolong itu sama sekali tak pernah terjadi (maksudku serasa tak pernah kulakoni, hehe..).

Tuhan Mahatahu tetapi menunggu—kata Leo Tolstoi. Entah, mungkin pelanggaran itu telah dibalasnya tanpa saya sadari; mungkin juga belum…(tapi saya haqqul yaqin, Tuhan Maha-pemurah-dan-pemaaf-dan-pengertian, kok…).

Entahlah...[]

medio ramadhan 2008




Tidak ada komentar: