Rabu, 03 September 2008

Secangkir Kopi Surgawi

.: secawan hiperbola buatmu, nona...

Mbok Maryam, begitu ia biasa dipanggil. Janda limapuluhan tahun itu adalah pemilik kedai kopi di sebuah kampung terpencil yang dikelilingi barisan pepohonan jati; kampung Ungkalan namanya. Konon, kampung berpenghuni limaratusan jiwa itu dinamai demikian karena di sana terdapat sebuah batu berukuran besar yang dapat digunakan untuk mengasah benda-benda tajam. Ungkal sendiri merupakan istilah dalam bahasa Jawa untuk menyebut batu pengasah benda-benda tajam. Di dalam buku atlas, letak persis kampung itu adalah di ujung tenggara wilayah administratif kabupaten Jember, dan masih berada dalam kawasan hutan suaka Meru Betiri.


Pada suatu senjakala, sepulang memancing ikan di salah satu rawa sebelah selatan kampung Ungkalan, aku dan dua orang kawanku menyempatkan diri untuk mampir di kedai kopi mbok Maryam. Sekedar untuk meluruhkan lelah sekalian menikmati secangkir kopi racikan Janda yang konon di masa mudanya digandrungi banyak lelaki itu, begitu pikirku. Selang sepuluhan menit selepas memesannya kepada mbok Maryam, tiga cangkir kopi pun disuguhkan pada kami bertiga. Begitu kubuka tutupnya, uap air menyembul pekat dari cangkir di hadapanku itu. Sejurus kemudian, kuseruput perlahan-lahan adonan kopi yang nyaris sehitam aspal itu. Panas terasa menyengat bibirku. Tapi dalam tradisi masyarakat desa, memang demikianlah cara menikmati kopi yang diyakini paling tepat. Kopi yang telah dingin akan berkurang drastis tingkat kenikmatannya. Kopi dingin adalah jatah cicak, begitu seloroh kawan-kawanku dulu saat aku menolak untuk menyeruput kopi yang masih mengepulkan uap air, takut bibirku bakal melepuh terbakar panasnya.


Argh.. nikmat terasa kopi itu dalam cecapan lidahku. Kopi nasgitel, begitulah kami, aku dan kedua kawanku, menyebutnya. Nasgitel adalah akronim dari panas, legi, kentel (panas, manis, kental). Sebuah perpaduan antara kopi robusta plus gula dalam komposisi yang pas. Aku berani bertaruh, kopi racikan mbok Maryam ini tak bakalan kalah diadu dengan kopi bikinan pabrik macam KapalApi ataupun ToraBika.


Dalam sekejap saja, setelah seruputan pertama, penat yang menimbun di otakku serasa rontok. Lelah di sekujur tubuh pun terasa luruh perlahan, pertanda kafein telah menjalari saraf-saraf di seluruh tubuh dengan menumpang aliran darah. Kuperhatikan kedua kawanku itu juga mulai terbuai sensasi kopi setelah seruputan pertama dari cangkir masing-masing. “Koyok neng suwargo rasane rek,” kata seorang kawanku menegaskan betapa nikmat dan membius saraf kopi nasgitel racikan mbok Maryam itu. Mirip berada di surga, begitu maksud si kawan. Tentu saja ia amat berlebihan, karena tak satu pun dari manusia yang masih hidup pernah menjenguk nirwana. Tapi bahasa manusia, terlebih yang bersangkut-paut dengan sensasi rasa, tak bisa tidak harus menggunakan metafora. Rasa, entah itu yang terkait organ tubuh (misalnya lidah) ataupun hati (bukan liver lho ya), tak pernah bisa dilukiskan dengan kata-kata yang independen. Pengungkapan rasa, tak bisa tidak, selalu perlu metafora. Dan metafora, seringkali, amat sulit untuk terhindar dari hiperbola. Maka aku maklumi adanya bila kawanku itu sampai menyangkut-pautkan sensasi rasa kopi dengan surga segala. Karena begitulah bahasa manusia: tak berkutik bila sudah bersangkut-paut dengan rasa. (Anda tidak bisa melukiskan rasa di hati Anda tanpa terjebak dalam metafora – yang seringkali hiperbolik, tentunya).


Tak puas dengan hanya terbius oleh sensasi kafein saja, kami bertiga akhirnya menyulut rokok kretek kesukaan kami. Dan memang demikianlah antara kopi dan rokok membentuk kepadu-padanan dalam menyempurnakan sensasi rasa di saraf-saraf sensoris yang berpusat di otak. Sedotan demi sedotan batangan nikotin itu selanjutnya mengiringi seruputan demi seruputan kopi yang perlahan mulai turun temperaturnya. Persekutuan antara kafein dan nikotin, tak pelak lagi, membikin kami bertiga makin mabuk kepayang saja rasanya.


Sambil menikmati kemabukkepayangan oleh sensasi yang menggeletari tiap butir sel saraf di otak, kami bertiga mulai berbicara ngelantur laiknya orang yang sedang dalam pengaruh alkohol. Tantu saja amat berbeda antara sifat alkohol dengan sifat kafein dan nikotin. Kafein dan nikotin memicu ketegangan saraf, sementara alkohol, sebaliknya, mengendurkan saraf. Sebagai salah satu efeknya, dalam kadar berlebih, kafein dan nikotin dapat memicu frekuensi detak jantung secara ekstrem yang pada gilirannya memicu keluarnya keringat dingin, dan juga menimbulkan insomnia. Sementara alkohol, dalam kadar berlebih, membikin saraf mengendur secara berlebihan sehingga gerak organ-organ tubuh menjadi kacau, termasuk bicara yang ngelantur. Bahkan, karena mabuk oleh alkohol, orang bisa jatuh tertidur di atas jamban sekalipun. Temanku di SMA dulu pernah mengalaminya. Karena itulah, menyadari diri sedang letih setelah aktifitas memancing seharian, kami memilih kedai kopi dan bukan pub ataupun diskotek (lagian di kampung mana ada tempat begituan, hehe..).


Oh ya, lantas kenapa kami bertiga bicara ngelantur padahal yang kami cecapi adalah kafein dan yang kami cumbui adalah asap bernikotin? Ya, tentu saja ngelantur kami bertiga adalah ngelantur yang positif adanya (agak aneh memang, ada ngelantur yang positif segala). Ngelantur kami sepenuhnya terkontrol karena saraf-saraf kami memang tegang oleh deraan kafein dan jeratan nikotin, bukan ngelantur yang tak terkendali macam orang mabuk alkohol.


Begini, kami membincangkan soal masa depan, khususnya menyangkut jodoh. Dan aku sebut ngelantur tak lain adalah karena bicara kami bertiga sungguh muluk-muluk adanya, persis katak sedang memimpikan untuk menggendong rembulan.


Satu kawanku mendambakan seorang pasangan hidup yang sebaik dan secantik Zaskia Adya Mecca. Eh, maksudku ia bukan cuma mendambakan yang seperti, tapi yang benar-benar Zaskia Adya Mecca. Ya, ia mendambakan Zaskia betulan. (betul-betul katak perindu bulan, kan?) Seorang wanita shalihah, ia menegaskan tentang figur pujaannya, dan ia betul-betul mendambakan mantan pacar Sahrul Gunawan itu untuk jadi pendamping hidupnya, yang menurutnya bisa diandalkan untuk membangun biduk rumahtangga yang mawaddah dan rahmah. “Darimana kau tahu ia shalihah padahal ketemu saja belum pernah?” aku memrotesnya. “Dari televisi, dong,” jawabnya ketus. (begini nih, contoh sempurna model manusia yang terlalu berkarib akrab dengan infotainment dan sinetron.)


Seorang kawanku yang lain mendambakan... (oh, God. Ia menyebut seorang... ah, aku tak akan menyebutnya. Satu hal tentang kawanku satu ini: ia kolektor FB alias film biru. Model pasangan hidup dambaannya ternyata juga tak jauh-jauh dari yang sering ia tonton.)


Sementara aku sendiri tetap berteguh hati pada satu hati (eh, pada satu figur, maksudku). Di mana pun dan pada siapa pun selalu kusebut ia; termasuk dalam beberapa catatan, baik di buku diari maupun di blog ini, tak lelah-lelahnya aku sebutkan sosok pujaan hatiku itu. Pokoknya satu saja. Sekali lagi, satu saja; tiada yang lain. Iya, betul; tak salah lagi, dialah Diandra Paramitha Sastrowardoyo. Oughh... alamak... seribu cangkir kopi racikan mbok Maryam pun tak bakal mampu memompa detak jantungku secepat bila seandainya aku menjumpa si gadis manis yang, seturut kabar terakhir yang melayang padaku, telah jadi asdos di almamaternya setamat ia dari jenjang strata satu dan peroleh titel Sarjana Filsafat; di Jurusan Filsafat UI. (masih kurang jadi katak perindu bulan gimana lagi kalo sudah begini ini, heh??)


Kenapa pilih Dian Sastro?” kawan yang pertama tadi balas memrotesku dengan nada ketus dan sinis. “Karena hatiku memilih dia, dasar o'on..” jawabku sambil sedikit mengoloknya. “Cinta kan gak perlu diurai dengan kata-kata. Kalau hati sudah memilih, ya wes, gak perlu cari-cari alasan kenapa dan kenapi. Kalau kau paksakan mencari-cari alasan, seluruh deposit kata-kata dari seluruh bahasa di muka bumi ini pun tak bakalan cukup buat mendedahkan sebab-musabab jatuh cinta dan seluruh gerak-gerik hati. Paham?!” aku berorasi laiknya filsuf Cintaisme, yakni aliran filsafat baru yang kucetuskan setelah proyek Filsafat Eksistensialisme gagal total menjelaskan keber-ada-an (being) manusia dan dunia kecuali dengan simpulan muram ala Sartre dan Camus: hidup ini absurd, sia-sia belaka. Tapi filsafat baru ini tak hendak menjelaskan Cinta, melainkan cuma ingin menyebarkan persuasi-persuasi dan provokasi-provokasi positif kepada seluruh umat manusia untuk hidup hanya dengan Cinta semata. Metodenya: membangun kata-kata (baca: bahasa) seindah mungkin untuk mengukuhkan Cinta (ingat: mengukuhkan; bukan menjelaskan!) di hati setiap insan yang menyimaknya sehingga dapat mengikis tiap gerak-gerik hati dan pikiran yang mengandung kemuraman dan kebencian. Konon, problem terbesar filsafat mutakhir memang, tak lain dan tak bukan, adalah bahasa. Karena itu, melalui bahasa yang indah dan santun-lah, sebagai manifestasi dan sekaligus pengukuhan atas Cinta, dunia dapat dikonstruksi menjadi lebih baik dan berkeadaban. (hayo, siapa mau bergabung??) Konklusi dari madzhab baru filsafat ini adalah: Hidup ini penuh makna, tak ada kesia-siaan di dalamnya; bukalah hati dan pikiran untuk dialiri dan sekaligus mengalirkan Cinta. Demikianlah, sebuah antitesa dari Eksistensialisme-Atheis yang nyaris sempurna. (Tapi aneh juga ya, lha wong tujuannya mengukuhkan kok disebut “filsafat”. Hakikat filsafat kan menguraikan-menjelaskan?! Pasti si penulis ini, ya saya sendiri, sedang mabokkepayang-lupadaratan!)


Dan, tak terasa telah lewat satu jam lamanya kami bertiga bersenda-gurau di kedai kopi mbok Maryam. Sebentar lagi malam akan turun menyelimuti perkampungan terpencil ini. Maka, setelah membayar nominal tiga cangkir kopi yang telah tandas dan tinggal bersisa ampasnya saja di dasar cangkir itu, kami pun ngeloyor pergi meninggalkan kedai, bergegas menuju pulang.


Di sepanjang perjalanan, menyusuri jejalanan di tengah hutan jati yang mulai ranggas pertanda kemarau telah tiba, dalam suasana senyap yang menyambut turunnya tirai gelap malam, aku makin sadar diri: kebahagiaan bukanlah hal yang mustahil untuk dicecapi. Di kedai kopi mbok Maryam di pelosok wilayah yang jauh dari gemerlap kota dan koneksi internet; ya, di kampung Ungkalan yang dikelilingi wana jati itu: saya merasa bahagia. Ada senda gurau bersama kawan-kawan, ada kenikmatan karena sensasi rasa dari kopi, dan ada kedamaian perasaan saat mata menyaksikan pemandangan alam terbuka. Saya tak tahu, apakah bahagiaku akan sesempurna ini, atau malah melebihi ini, andai aku menikmati secangkir kopi di kafe-kafe dalam keriuhan pengunjung dan dentuman musik, atau bahkan mungkin di pelbagai tempat elitis macam HardRock dan Starbuck? Mungkin iya... tapi saya yakin: tidak!


Entahlah. Di antara keriuhan manusia dan kemewahan aneka benda artifisial, aku tak pernah menemukan ketenangan dan kebahagiaan sesempurna yang kuperoleh dalam kesederhanaan, kesahajaan, dan kedekatan dengan alam.[]


dan aku pun mabuk oleh secawan anggurmu, puan...

Jelang Ramadhan 2008




Tidak ada komentar: