Rabu, 03 September 2008

secangkir kopi temaram

.: extra-cost for pseudobliss


Di suatu malam minggu, sekira sebulan silam, aku mengunjungi kedai kopi remang-remang di daerah selatan Jember—domainku (daerah asalku) sendiri. Sesuai dengan konotasinya, kedai kopi ini memang kerap menjadi kegiatan terselubung serupa panti pijat plus-plus di Ibukota. Para pramusaji di kedai ini kebanyakan adalah eks pekerja seks komersil di bekas kompleks lokalisasi Besini, Puger, yang ditutup pemerintah daerah setempat kira-kira setahun silam. Di wilayah selatan Jember sendiri, terutama sejak dua-tiga tahun terakhir ini, kedai kopi muncul bak jamur di musim penghujan. Di sekujur lajur jalan arteri sepanjang empat belas kilometer yang menghubungkan kecamatan Ambulu dan kecamatan Balung, misalnya, ada tidak kurang tigapuluhan kedai kopi. Itu baru yang terletak di kanan-kiri jalan arteri, belum termasuk yang ada di daerah-daerah pelosok desa. Berniat sekedar membuang suntuk karena tidak punya pasangan alias pacar untuk dikencani di malam minggu itulah, bersama lima orang kawan, aku datang mengunjungi salah satu kedai yang terletak persis di tepi jalan arteri di desa Tanjung Rejo, kecamatan Wuluhan—kecamatan yang terletak di antara Ambulu dan Balung.


Begitu memasuki kedai, kami berenam disambut penuh akrab oleh para pramusaji. Seolah-olah mereka telah mengenal kami dengan intim. Padahal, ini baru kali pertama kami mengunjungi kedai tersebut. Mungkin memang beginilah gaya khas para pramusaji yang merangkap tugas marketing untuk merayu para calon pelanggan. Selanjutnya, kami memesan enam cangkir kopi kepada salah seorang di antara mereka. Sementara salah seorang dari mereka duduk menemani kami berenam. Dan sialnya, aku yang berada di ujung bangku kayu di dalam kedai itu tak pelak lagi harus duduk berhimpitan dengan si pramusaji, dan mau tak mau musti rela jadi sasaran utama basa-basi dan bujuk-rayunya. Sekali lagi: sial, kubilang. Bukan; bukan karena aku sok suci atau apalah namanya. Tapi lebih karena aku tak cukup terampil menghadapi bahasa verbal dan sekaligus bahasa tubuh lain jenisku yang ditujukan kepadaku secara agresif. Suwer, aku kikuk dan risih menghadapi agresifitas perempuan. Bahkan, tangannya juga tak absen dari bahasa tubuh yang sedang ia peragakan di depan kami berenam—dan lagi-lagi, akulah sasaran utamanya.


Tak ingin menanggung malu karena keringat dingin mulai terasa merembesi keningku, aku pun pamit ke belakang. Mau pipis, kataku pada si pramusaji dan kelima kawanku. Kontan saja, tanpa perlu seorang dirijen untuk memandu jalannya koor, mereka semua ketawa terbahak-bahak. Tapi untungnya di dalam kedai hanya ada kami berenam plus tiga wanita pramusaji, beberapa pengunjung lain duduk di bangku yang ada di luar kedai. Namun sialnya, seorang kawanku bukannya bersimpati malah tiba-tiba nyeletuk dengan entengnya, persis mulut mengunyah kerupuk: “masak gitu aja udah mau pipis?! Kok cepet banget...” Brengsek, pikirku tanpa meletupkannya melalui mulutku. Aku keluar dan kemudian berdiri di tepi jalan sembari menunggu kopi pesanan kami disuguhkan.


Begitu kulihat seorang pramusaji datang membawa enam cangkir kopi pesanan kami, aku pun kembali masuk ke dalam kedai. Tak ingin terulang peristiwa seperti tadi padaku, aku lantas mengambil posisi duduk di sudut warung, di deretan paling ujung sebelah dalam dari posisi duduk kawan-kawanku. Safe-positioning, pikirku. Kami pun selanjutnya menikmati kopi dari cangkir masing-masing sembari diselingi obrolan-obrolan binal dan nakal dengan si pramusaji. Si pramusaji sempat menanyai kami berenam, entah serius atau cuma bercanda: apa kami tak berminat menyicipi layanan tripel X? Lalu seorang kawanku yang paling tangkas mulut dan lidahnya menjawab: “asalkan boleh ngutang, bayarnya nunggu panen tembakau dua bulan lagi.” Sebuah jawaban yang tokcer dan sekaligus jenaka, menurutku; sebuah penolakan yang halus namun mujarab. Dan si pramusaji pun selanjutnya tak mengeluarkan jurus-jurus rerayuan mematikannya lagi; kapok oleh jurus penangkis kawanku tadi, barangkali. Kami menang telak, pikirku. Kami berenam memang telah bersepakat untuk tak berlaku macam-macam di tempat itu, karena bisa berabe akibatnya. Selanjutnya obrolan terjadi tanpa ada lagi bujuk rerayuan si pramusaji meski tetap diselingi canda yang nyerempet-nyerempet ke wilayah hazardous alias “plang-merah” atawa “bahaya”. Yach, sepanjang itu cuma lips show alias ocehan-racauan khas anak muda jomblo, kukira tak mengapa. Untuk membuang suntuk, pikirku. Toh, seturut pendapatku, seksualitas itu tak perlu ditabukan dalam wicara; yang tabu adalah melakukannya dengan sembarang pasangan, lebih-lebih di sembarangan tempat (macam orang buang ludah saja, hahaha...).


Sekira telah satu jam lamanya melewatkan waktu di dalam kedai, sementara kopi di masing-masing cangkir kami juga telah tandas bersisa ampas semata, kami pun bergegas pulang setelah sebelumnya membayar sejumlah nominal untuk enam cangkir kopi plus satu pak rokok. Dan, ternyata, harga secangkir kopi di sana berlipat dua bila dibandingkan harga di kedai-kedai lain yang tak ada “pramusaji ekstra”-nya. Bujur buneng... rupanya kami (dan semua pengunjung, pastinya) harus membayar ekstra untuk jasa bujuk-rayu dan obrolan binal-dan-nakal para pramusaji eks pramuria itu.


Tapi puasss, son!” pekik seorang kawanku di tengah perjalanan kami menuju pulang. “Puas gundulmu!” balas seorang kawan lain sambil terkekeh-kekeh di tengah raungan mesin sepeda motornya menyusuri jalanan. “Adik-kecil-ku tiwas mumet, kampret!” sambungnya diiringi tawa yang terbahak-bahak, seolah-olah tak ambil peduli dengan lalu-lalang pengendara lain di sepanjang lajur jalan raya itu.


Dasar bujang lapuk, gumamku dalam hati menanggapi tingkah polah dua kawanku tadi.[]

tgl brp y?

5 komentar:

ipam nugroho mengatakan...

secangkir kopi bisa menjadi teman setia kala sepi menggelanyut hati

espito mengatakan...

iya pak, betul. dlm sehari saya sampai habis 3-4 cangkir (maklum, saya kerap merasa kesepian).
maturnuwun..

Anonim mengatakan...

Haha..kocak. Salam kenal..tau sampeyan di Caping. Jadi ingat masa2 kuliah dulu..hehe...tapi minus pramusaji lo! :P

emperor edutainment mengatakan...

secangkir kopi yang disediakan oleh seorang istri akan sangat membantu anda menghadapi hari ini.

come to Blog Bisnis

Elfira Arisanti mengatakan...

suka :)