Rabu, 03 September 2008

secangkir kopi saat rinai hujan (1)

.:senggama pepohonan dan hujan


Di tengah perjalanan balik ke rumah-kos (yang telah menjadi rumah keduaku selama dua tahun terakhir menempuhi jenjang perguruan tinggi) beberapa waktu lalu, langit di atas kepala yang sudah nampak muram sedari aku meninggalkan rumah pukul empat sore, tiba-tiba melepaskan beban yang berbulan-bulan lamanya sepanjang musim kemarau ditanggungnya. Tak ayal lagi, aku sempat kebingungan dan kelabakan.


Kupacu sepeda motorku kencang-kencang melawan serangan mendadak dari langit itu dan berharap segera menemukan tempat untuk berteduh menyelamatkan diri. Selang tiga-empat menit kemudian, kulihat di depan ada sebuah warung kopi. Aku pun berhenti dan segera bergegas masuk dengan pakaian yang sudah lumayan basah kuyup. Sementara sepeda motor kuparkir sekenanya di tepi jalan. Biar saja ia diguyur hujan, toh tak bakalan kedinginan. Lagipula biar mesinnya yang telah setengah jam lamanya menampung letupan api di dalamnya itu lekas dingin.


Segera kupesan secangkir kopi kepada ibu setengah baya pemilik warung. Tak berapa lama kemudian, secangkir kopi dihidangkan, masih dalam keadaan panas dan melepaskan uap air ke udara. Setelah temperatur kopi perlahan menurun, aku seruput perlahan-lahan lewat bibir cangkir bermotifkan bunga-bunga berwarna ungu itu. Arghh... betapa nikmatnya...


Lalu aku raih sebungkus rokok dan korek api dari dalam saku jaket jinsku. Kuambil sebatang kemudian aku sulut lintingan tembakau plus cengkeh tersebut menggunakan korek api yang berbahan bakar gas cair butena itu. Sedetik kemudian api membakar ujung rokok dan membuatnya merah membara. Aku hisap perlahan, kutahan asapnya yang beracun dan “memabukkan” itu di dalam rongga dadaku untuk beberapa saat lamanya, kemudian aku keluarkan perlahan-lahan dari kedua lubang hidung sembari kutatap lekat-lekat asap yang mengalir pelan-pelan ke udara bebas tersebut. Seperti aliran “wedus gembhel” yang keluar perlahan dari kawah gunung berapi yang hendak meletus. Arghh... betapa bertambah rasa nikmatnya...


Sementara itu di luar hujan masih turun dengan derasnya disertai tiupan angin yang lumayan kencang. Kupandangi dengan khidmat barisan pepohonan di tepi jalan yang tampak bergoyang-goyang. Seolah ia sedang menari kegirangan karena mendapatkan curahan air dari langit setelah seharian dibakar terik matahari. Juga karena selain hujan, tak ada yang bersedia memandikannya dari noda debu dan asap beracun yang tiap hari tak henti-hentinya dimuntahkan oleh kendaraan bermotor yang berlalu lalang melewatinya. Pepohonan kian nampak kegirangan.


Ahh, mungkin ia sedang bersenggama dengan hujan. Merasai betapa nikmatnya berada dalam dekapan sang hujan. Seperti sepasang kekasih yang lama saling menanti untuk bersua, dan saling memendam rindu yang kian membuncah dan bergelora di dalam dada karena sekian lama terpendam dan tertahan, meronta-ronta untuk segera dilampiaskan.


Ya, pepohonan itu telah bersua dengan kekasihnya. Dan tak ada yang bisa menahannya agar tak meluapkan kerinduannya pada sang hujan. Dan hembusan sang bayu membuat sepasang kekasih itu kian tenggelam dalam percintaan yang sedemikian romantis dan menderu-deru. Tak peduli dengan satu dua pengendara yang melewatinya bersikeras menembus derasnya hujan. Juga tak peduli padaku yang sedari tadi tertegun memandanginya penuh takjub, juga iri pada kemesraannya.


Ah, biarlah. Biarlah hujan terus turun mengguyur. Aku tak tega melihat pepohonan harus cepat-cepat terlepas dari pelukan sang hujan. Biar kutunggu, sampai mereka sama-sama menuntaskan kerinduannya, merampungkan percintaannya... ... ...


Setelah lewat sejam, hujan pun perlahan mereda. Kuraih kembali cangkir yang tinggal menyisakan seseruputan kopi yang telah dingin di dalamnya. Kuseruput hingga tuntas dan menyisakan ampas hitam pekat seperti aspal. Lalu kutaruh kembali di atas meja. Sejenak kemudian hujan tinggal menyisakan rintik-rintik kecil. Segera aku sodorkan sejumlah uang kepada ibu pemilik warung sesuai nominal yang ia minta untuk secangkir kopi yang kini sudah menghuni perutku, dan diproses oleh organ-organ metabolismeku untuk menyegarkan saraf-sarafku.


Setelah mengucap terimakasih dan sekelumit kata pamit kepada ibu pemilik warung, kuayunkan kedua kakiku bergegas keluar menuju sepeda motorku yang telah basah kuyup oleh air hujan. Kutekan tombol starter elektrik di handel sebelah kanan. Sejurus kemudian mesin meraung-raung. Aku pandangi sejenak pepohonan yang sejam lebih tadi terlibat percintaan seru dengan sang hujan.


Ah, kasihan kini ia kembali tertegun sendiri. Meneteskan sisa-sisa pelukan hujan dari pucuk-pucuk dedaunannya. Seperti seseorang meneteskan air mata saat melepas kepergian sang kekasih hati. Ah, tapi ini bukan musim kemarau yang menjadi perpisahan panjang. Ini adalah musim penghujan yang hampir pasti esok hari air dari langit akan tumpah lagi. Dan ia akan kembali bersenggama dengan pepohonan.


Kuinjak pedal persneling motor dengan kaki kiriku. Lalu kutarik tuas gas dalam genggaman tangan kananku. Aku melesat menyusuri jejalanan aspal kota menuju rumah kosku, meninggalkan pepohonan yang telah puas bersenggama dengan hujan... [*]


Tepian Bedadung, awal Desember 2007

Tidak ada komentar: