Rabu, 03 September 2008

secangkir kopi saat rinai hujan (2)

.: sendiri berbuah suntuk


Malam ini, aku seorang diri di rumah kos. Empat orang teman penghuni lain sedang mudik ke kampung halaman. Satu teman lagi pergi semenjak sore tadi dan hingga detik ini belum kembali. Di luar, rinai hujan menyirami bumi kota Jember.

Sejak dua hari terakhir, wajah langit di atas kota Jember memang bermuram durja. Matahari nampaknya segan menampakkan diri, tak kuasa menyibak tirai mega yang menggelayut manja di angkasa. Jemuranku pun tak kunjung kering, malah menebarkan bau apek.

Untuk menawarkan getirnya suasana hatiku, segera kuracik secangkir kopi kental dan manis—cita rasa kesukaanku. Setelah kuseduh dengan air mendidih dari dispenser, kubawa secangkir kopi itu naik ke kamarku di lantai dua. Seperti malam-malam sebelumnya, ritual membosankan pun kumulai.

Komputer butut Pentium 3 keluaran tahun 2000 kunyalakan. Sambil menunggu proses loading operating system Windows XP Professional bajakan di komputerku itu, kuseruput secangkir kopi yang masih mengepulkan uap air panas itu dengan bibirku yang sudah sejak tadi berasa asam, pertanda seharian tak berpagutan dengan bibir cangkir (berisi kopi, bukan cangkir kosong. Emang gue gila apa, magut-magut bibir cangkir tak berisi, hikzz... hikzz...)

Aku klik player musik di komputer. Kucari-cari folder album Padi di list lagu koleksiku. Lalu aku drag & drop sebuah lagu berjudul Patah ke display list player itu, kemudian aku klik tombol virtual Play. Irama musik pun bersahut-sahutan keluar dari sepasang speaker aktif stereo, bersaing dengan berisik hujan di luar kamar. Gebukan dram si Yoyo berdentam keras di bagian intro lagu itu, menggedor-gedor dinding hatiku. Lengking gitar melodi si Piyu ikut-ikutan mendayu-dayu mengawali lagu itu, merobek-robek kesunyian suasana batinku.

Pikiranku pun sekejap melunjak-lunjak. Aihh... tak kunyana, vokal si Fadli mendendangkan syair melo ternyata. Aku nyaris lupa pada lirik lagu itu, karena sekian lama tak pernah kuperdengarkan di telingaku sendiri. Tapi biarlah, terlanjur, dan memang aku sendiri saat ini sedang bersuasana hati melo. Sedih, nelangsa dan merana karena tinggal seorang diri di dalam kamar. Hanya bertemankan seonggok komputer butut, sekalipun multimedia. Juga serakan dan tumpukan buku-buku yang bejibun, yang sebagian besarnya belum kubaca tuntas. Fiuhh... vokal si Fadli memang ampuh. Syair melo ia bawakan dengan penuh wibawa dan sahaja:


Bagai serpih-serpih pasir di pantai
Tersapu gelombang pasang
Meski harus hilang terpecah karang
Meninggalkan kenangan abadi

Ada tersimpan rasa perih mendera
Mengingat engkau disaat itu
Masih tentang cerita engkau dan dia
Yang tak pernah terukir indah

Kau bawa aku renungi apa yang terjadi
Kau bawa aku resapi semua tangismu itu

Memelukmu kuingin
Menyentuhmu kuingin
Dan mengucapkan sepatah kata


Namun air mata meski tercurah
Memandu cerita itu
Jiwamu tak mampu menahan semua
Ketidakberdayaan ini

Kau patahkan semua cerita hidupmu
Kau remukkan harapan yang tumbuh di hati

Memelukmu kuingin
Menyentuhmu kuingin
Dan mengucapkan sepatah kata

… … …


(Siapa hayo yang tidak berdesir hatinya menyimak syair liris itu…)


Kuseruput lagi untuk kedua kalinya kopi yang nyaris dingin itu. Arghh... so delicious... sulit menggambarkan kenikmatannya. Seperti lazimnya semua rasa, mulut manusia tak kuasa menjangkau untuk mengungkapkannya. Tulisan, yang notabene punya kelebihan daripada lisan, juga takkan sanggup melukiskannya, dengan bahasa secanggih apapun, dengan kekayaan kosakata semelimpah ruah pun. Adakah kita dapat menggambarkan segala rasa dengan utuh? Sanggupkah kata-kata mengungkapkan rasa cinta, misalnya, secara total? Ah, tak mungkin bisa. Jangankan rasa di jiwa, rasa di lidah, di bibir, dan di organ-organ tubuh lainnya saja sulit dan mustahil bisa digambarkan secara utuh. Ya, 'kan?

Rasa adalah sebuah pengalaman, yang hanya bisa dinikmati dan dipikul sendiri. Kita tak bisa menceritakannya secara utuh kepada siapa pun lewat bahasa. Orang lain hanya bisa menangkapnya lewat empati, dengan mengidentikkannya dengan pengalamannya sendiri. Kalau misalnya kita merasa sedih karena sedang dicuekin sang kekasih, maka orang lain hanya bisa memahami kesedihan kita apabila ia juga punya pengalaman dicuekin kekasihnya. Kalau orang itu tak punya pengalaman serupa dengan kita, mustahil ia bisa berempati secara sempurna. Jika kita berusaha menggambarkannya dengan kata-kata, pasti sia-sia saja, karena ia tak pernah mengalami apa yang sedang menimpa kita. Ya, 'kan?

Dan kalau kali ini aku coba menuliskan kesuntukan yang sedang menggelayuti cakrawala hati dan pikiranku, itu tak kumaksudkan untuk meraih empati dari siapa pun juga (tapi kalau ada yang berempati, dan lalu bersimpati, ya dengan senang hati kuterima. Swear...) Tulisan ini hanya aku maksudkan sebagai sarana menghibur diri sendiri, self-entertaining, dan syukur kalau bisa jadi self-healing bagi kemuraman perasaanku. Dan lebih syukur lagi kalau bisa menjadi self-entertaining dan self-healing bagi siapa saja yang dengan sabar dan tekun mengejanya, dengan segenap kesadaran dan perasaan.

Aihh... lagu Patah berdendang bolak-balik hingga sepuluh kali lebih, mungkin. Tak terasa lewat sejam lamanya aku berasyik masyuk dengan wajah indah monitor komputerku, memandangi barisan kata-kata yang kupulaskan sendiri di pipinya, juga di keningnya (monitor apaan, punya pipi dan kening segala?).

Anjrittt... kopiku diserbu semut! Masih tersisa separuh tubuh cangkir, lagi...

Menulis memang melenakan, membikin aku lupa pada kopi kesayanganku, kopi racikan tanganku sendiri... [*]


Ruang Gersang, 21 Februari 2008


Postscripto.Thanx bwt yg telah memperkenalkan istilah self-healing kepadaku. Matur nuwun sanget nggeh... (hikzz.. hikzz...)





Tidak ada komentar: